Broadcasting ! Simak Alokasi Frekuensi digital Nya

broadband5g.net

Alokasi Frekuensi digital broadcasting


Berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo No. 23 Tahun 2011 tentang rencana induk (masterplan) frekuensi radio untuk keperluan televisi siaran digital terrestrial pada pita frekuensi radio 478–694 MHz, pembagian alokasi frekuensi UHF terrestrial.

• Ch. 22–27: Future DTTB (SFN)

• Ch. 28–45: FTA DTTB

• Ch. 46–48: Reserved DTTB

• Ch. 49–62: Mobile Broadband/Digital Dividend.

Penggambaran rinci dari perencanaan kanal frekuensi tersebut dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:
broadband5g.net

Di dalam 112 MHz (694–806 MHz) digital dividend, terdapat 2x45 MHz FDD yang dapat dimanfaatkan sebagai pasangan frekuensi untuk mobile broadband.

Implementasi pengaturan frekuensi TV digital dan pengelompokan frekuensi TV digital.

Di sisi lain, implementasi TV digital memiliki beberapa spesifikasi teknis. Tabel 9.6 berikut ini menjelaskan mengenai bitrate (Mbps) TV digital untuk beberapa teknis kompresi baik MPEG-2 maupun MPEG-4, serta apakah SDTV atau HDTV.

Beberapa skenario implementasi TV digital dapat terdiri atas fixed rooptop, fixed indoor, portable, mobile, baik untuk Multi Frequency Network (MFN) ataupun Single Frequency Network (SFN). Untuk implementasi TV digital di Indonesia, dipilih perencanaan DVB-T2 fixed rooptop sebagaimana diimplementasikan dengan sukses di Inggris. Banyaknya jumlah TV lokal dan tidak berlakunya lagi sistem TV nasional sesuai regulasi dan kebijakan penyiaran yang berlaku saat ini, menyebabkan perencanaan frekuensi TV digital di Indonesia menggunakan parameter teknis fixed rooptop reception MFN dengan kapasitas bitrate maksimum 40,2 Mbps.

Beberapa parameter teknis perencanaan frekuensi dan jaringan DVB-T2 untuk penerimaan fixed dapat dilihat pada Tabel 9.7 berikut ini. Pada Tabel 9.8 dilakukan perbandingan performansi DVB-T dan DVB-T2 untuk melihat kelebihan teknis DVB-T2 dibandingkan dengan DVB-T.

Tantangan Digitalisasi Di Indonesia


Implementasi penuh sistem televisi digital di Indonesia saat ini menghadapi beberapa masalah dalam migrasi ke TV digital yang berakibat pada semakin lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan keuntungan dari penyiaran digital dan spektrum digital dividend. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara lain di mana migrasi ke teknologi digital telah berlangsung dan direncanakan selesai pada tahun 2015.

Keterlambatan migrasi ke TV digital tersebut dinilai karena tidak adanya kepastian mengenai jumlah pemirsa layanan televisi digital. Untuk mencapai jumlah pemirsa yang signifikan, dibutuhkan dekoder (yang biasa disebut set-top-box) dalam jumlah sangat besar untuk dipasang pada televisi analog yang ada saat ini. Walaupun televisi yang dijual saat ini kebanyakan sudah mendukung penerimaan siaran digital, sehingga tidak dibutuhkan pemasangan dekoder, dari jumlah rumah tangga di Indonesia yang berjumlah 61 juta, mayoritasnya masih menggunakan televisi analog. Sebuah kajian dari ITN Venture Consulting menunjukkan bahwa penyiaran televisi free-to-air (FTA) mendominasi pasar televisi di Indonesia hingga sebesar 75 persen.

Di samping harga perangkat dekoder, masyarakat merasa belum perlu untuk segera mengadopsi layanan televisi digital apabila belum ada program menarik yang tersedia. Meskipun begitu, pihak broadcaster juga cenderung menunggu sampai jumlah pemirsa digital menjadi cukup tinggi sebelum mulai menyediakan program digital. Pihak pengiklan pun akan tidak tertarik menempatkan iklan pada televisi digital jika mereka hanya dapat menjangkau pemirsa dalam jumlah yang kecil.

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah dari sisi operasional bisnis.

Selanjutnya, perubahan pada rantai layanan televisi juga dapat menimbul kan permasalahan lain. Selama era televisi analog, sebuah broadcaster dapat mengambil peran penuh dalam industri penyiaran, merancang program siarannya sendiri, di samping mentransmisikan dan menyampaikannya ke pemirsa menggunakan mode transmisi terrestrial free-to-air (FTA). Untuk itu, broadcaster harus membangun infrastruktur penyiarannya sendiri beserta menara pemancarnya. Broadcaster juga harus memegang lisensi penggunaan sebuah kanal frekuensi sebesar 8 MHz untuk memfasilitasi penyiaran dan transmisi sinyal. Setiap spektrum frekuensi sebesar 8 MHz ini hanya dapat diisi oleh satu program televisi analog.

Akan tetapi, pada era televisi digital, rantai layanan penyiaran cukup berbeda. Peran dalam layanan televisi digital dibagi menjadi dua buah entitas, yaitu Institusi Penyiaran dan Penyedia Infrastruktur. Institusi Penyiaran bertindak sebagai penyedia konten yang mempunyai pekerjaan utamanya sama seperti pada era analog, namun perbedaannya adalah sekarang mereka tidak perlu lagi memiliki infrastruktur penyiaran sendiri karena akan disediakan oleh Penyedia Infrastruktur. Penyedia Infrastruktur dapat berperan sebagai Multiplex Provider atau penyedia menara, namun biasanya mereka adalah badan yang sama. Multiplex Provider akan menjadi pemegang hak penggunaan frekuensi dan mem punyai peran untuk menggabungkan program-program televisi yang dihasilkan penyedia konten dan mengirimkannya ke pemirsa televisi digital. Berbeda dengan pada era analog, beberapa program sekarang dapat terakomodasi dalam sebuah kanal frekuensi. Untuk memberi gambaran, perbandingan antara layanan televisi pada era analog dan digital.

Dengan pembagian peran tersebut, harapannya setiap badan penyiaran dapat berkonsentrasi pada wilayah bisnis di mana mereka paling sesuai. Pemain pendatang baru pada bidang penyiaran tidak akan harus membangun infrastruktur yang mahal karena mereka hanya perlu menyewa kapasitas dari multiplex operator. Meskipun demikian, jumlah spektrum yang tersedia tidak proporsional dengan jumlah broadcaster yang sudah ada saat ini, sehingga tidak semua dari mereka akan terpilih menjadi multiplex operator. Untuk yang tidak terpilih, mereka harus menyerahkan kembali spektrum yang saat ini dipakai setelah digital switch over dan mereka juga tidak akan bisa lagi menggunakan infrastruktur penyiaran yang telah diinvestasikan pada masa analog karena hanya multiplex operator yang diperbolehkan menyiarkan program televisi digital.

Meskipun memiliki hak penggunaan frekuensi, broadcaster yang terpilih menjadi multiplex operator harus membelanjakan sejumlah dana untuk menyediakan infrastruktur tambahan yang diperlukan untuk menyeleng garakan layanan multipleks. Namun, prospek bisnis multipleks ini pun belum pasti menjanjikan, terutama pada masa-masa awal periode simulcast karena broadcaster mungkin tidak akan segera menyediakan program televisi digital.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas menyebabkan migrasi dari televisi analog ke digital menjadi terhambat. Lebih buruk lagi, spektrum digital dividend bisa saja tidak dapat diperoleh sama sekali. Di sisi lain, migrasi TV digital sebenarnya membawa manfaat yang lebih besar bagi Indonesia. Era analog pada akhirnya pasti akan berubah menjadi era digital.

broadband5g.net
LihatTutupKomentar