Roadmap Frekuensi Seluler di Indonesia

cerimuka


Roadmap Frekuensi Seluler di Indonesia


Penyelenggaraan seluler saat ini menghadapi beberapa tantangan yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi terkait isu interferensi, kebutuhan frekuensi untuk mobile broadband, dan masalah ekosistem seluler. Beberapa permasalahan kondisi eksisting penyelenggaraan seluler, antara lain:

Apabila pertumbuhan melambat dan kerugian berlangsung terus, akan menggerus modal dan mengancam sustainabilitas layanan.

Pertumbuhan komunikasi data terus meningkat dan menurunnya komunikasi suara, di mana masa emas operator seluler sudah mengalami penurunan pendapatan.

Penataan spektrum frekuensi radio dapat menjadi alternatif dalam penye lenggaraan layanan akses broadband yang dapat dilakukan, antara lain:

Mengurangi krisis spektrum di Indonesia.

Mencapai target broadband nasional Indonesia (sesuai Perpres No. 94 Tahun 2014 tentang Rencana Pita Lebar 2014-2019).

Mewujudkan target broadband di peringkat 2 ASEAN.

Mewujudkan Nawacita dan MP3EI (penguatan infrastruktur dan peningkatan GDP sebesar USD 4,0–4,5 triliun pada tahun 2025).

Mendorong tumbuhnya peluang usaha bagi masyarakat dan potensi lapangan kerja di berbagai unit usaha (multiple effect) dan membuka peluang bangkitnya industri manufaktur, aplikasi, dan konten dalam negeri.

Penataan Komprehensif Penggunaan Pita Seluler


Penataan komprehensif penggunaan pita frekuensi seluler dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi eksisting. Rencana penataan kompre hensif tersebut salah satunya harus bertujuan agar tercapai efisiensi tertinggi dalam hal penggunaan spektrum frekuensi.

Gambar 10.1 berikut menunjukkan evolusi teknologi seluler, di mana semua teknologi seluler, baik GSM, CDMA, maupun Wimax pada akhirnya akan berevolusi menuju satu teknologi masa depan, yaitu LTE (Long Term Evolution).

Dengan mengetahui evolusi teknologi seluler tersebut, maka standar teknologi broadband LTE perlu diketahui terlebih dahulu. Dalam penataan frekuensi, konsepnya harus selaras dengan standar ITU di mana Indonesia terletak di region 3 (Asia-Pasifik).

Sedangkan alokasi frekuensi yang ditetapkan ITU untuk Indonesia telah diadopsi dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 25 tahun 2014 mengenai Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia.

Selanjutnya, penataan frekuensi dalam teknologi seluler LTE perlu mempertim bangkan standar rekomendasi 3GPP yang mengacu kepada rekomendasi 3GPP TS 36.101 dan versi terbarunya. Alokasi band yang dapat digunakan E-UTRA.

Dalam menjabarkan Peraturan Presiden No. 94 Tahun 2014 untuk mewujudkan Indonesia Broadband Plan, dirasa perlu melakukan penyusunan roadmap penataan frekuensi.

Penataan pita frekuensi untuk keperluan mobile broadband yang dapat dilakukan, antara lain pada pita frekuensi 450 MHz, 700 MHz, 800 MHz, 900 MHz, 1800 MHz, 1900 MHz, 2100 MHz, 2300 MHz, dan 2600 MHz. Oleh sebab itu, kali ini akan dibahas mengenai contoh cara pandang dari masing-masing pita frekuensi tersebut terkait implementasi mobile broadband di Indonesia.

Perencanaan Pita Frekeunsi 450 MHz

Saat ini, pita frekuensi 450 MHz digunakan untuk operator seluler yang mengoperasikan teknologi CDMA dengan alokasi frekuensi sebesar 2 x 7,5 MHz (450-457,5 MHz/460-467,5 MHz). Selain untuk keperluan teknologi seluler CDMA, band 450 MHz.

Salah satu gambaran perencanaan pita frekuensi 450 MHz yang dapat dilakukan adalah adanya potensi alokasi frekuensi operator CDMA sebesar 2x5 MHz (band 31, uplink: 452,5–457,5 MHz downlink: 462,5–467,5 MHz) untuk LTE dan 2x2,5 MHz (450–452,5 MHz/460– 462,5 MHz) untuk CDMA.

Perencanaan Pita Frekuensi 700 MHz

Band frekuensi 700 MHz merupakan band frekuensi yang sekarang ditempati oleh TV broadcast analog. Band 700 MHz berada pada pita frekuensi 478-806 MHz yang terbagi dalam 41 kanal (channel 22 sampai channel 62).

Dalam pelaksanaannya, pemerintah menetapkan setiap wilayah terdapat 6 LP3M, yaitu LPP TVRI dan 5 dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Jumlah ini paling optimal sesuai kondisi penyiaran di era analog, mempertimbangkan aspek teknologi, aspek ekonomis, dan keterbatasan frekuensi radio. 

Pemerintah menetapkan model tersebut dengan pertimbangan efisiensi infrastruktur (menara, antena, pemancar) yang sudah terbangun. Yang berhak menjadi LP3M adalah LPS yang telah beroperasi dan memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).

Dengan adanya migrasi TV analog ke TV digital tersebut, akan membuat efisiensi spektrum TV digital dengan 1 kanal RF 8 MHz bisa menampung lebih banyak program siaran TV dengan standar kompresi TV digital. Sehingga, akan ada frekuensi kosong yang dapat dialokasikan untuk mobile broadband.

Terkait ekosistem LTE FDD 700 MHz, beberapa negara akan mengembangkan band plan APT 700 MHz FDD, antara lain Australia, India, Taiwan, Korea, Jepang, New Zealand, Papua New Guinea, dan Tonga.

Dengan keinginan dari negara-negara lain tersebut untuk mengadopsi band plan APT 700 MHz FDD, diharapkan ekosistem implementasi LTE 700 MHz di Indonesia akan kuat, sehingga kebutuhan hardware tinggi dapat dicukupi dengan mask market yang diharapkan dapat mendorong ketersediaan tarif akses internet yang terjangkau (murah) di Indonesia.


Perencanaan pita frekuensi 700 MHz setelah analog switchover, penentuan alokasi digital dividend dan penentuan teknologi, yaitu perlunya dilakukan perencanaan keperluan penggunaan layanan pada pita 703–748 MHz/758–803 MHz.

Di beberapa negara, baik Amerika, Eropa maupun Asia merencanakan sebagian pita digital dividend tersebut untuk keperluan komunikasi keselamatan publik (Public Protection and Disaster Relief/PPDR) berbasis layanan broadband.

Mengingat Indonesia berada di pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia, sehingga selalu mengalami pergerakan tektonik yang menyebabkan Indonesia berpotensi tinggi terhadap adanya bencana alam. Persiapan teknologi broadband PPDR di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Perencanaan Pita Frekuensi 800 MHz

Dalam perencanaan penataan pita frekuensi 850 MHz di Indonesia, perlu memperhatikan kondisi band 850 di negara lain. Di beberapa negara, kondisi band 850 MHz menggunakan penggunaan operating band maupun alokasi lebar pita untuk layanan mobile broadband yang berbeda-beda.

Di sisi lain, tantangan bagi operator CDMA adalah untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan akan layanan data broadband, di mana hal tersebut memerlukan resource bandwidth yang besar.

Terkait hal tersebut, gambaran atau contoh penataan menyeluruh pita 850 MHz yang dilakukan sebagaimana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 30 tahun 2014.

Adapun perubahan dari adanya penataan frekuensi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Operator D bergabung dengan operator induknya menggelar extended GSM.

2. Operator B bertukar frekuensi dengan operator C.

3. Operator B bergabung dengan operator induknya menggelar extended GSM.

4. Operator A menanam saham pada operator C dengan penyertaan kepemilikan BTS operator A ke operator C. Kedua operator tersebut bekerja sama membuat sebuah konsorsium dalam kepemilikan asset.

Proses migrasi pita 800 MHz tersebut direncanakan selesai pada September 2016. Proses neutraltechnology saat ini juga telah dilakukan pada band 800 MHz.

Perencanaan Pita Frekuensi 900 MHz

Kondisi eksisting pita frekuensi 900 MHz telah ditempati oleh tiga operator besar di Indonesia. Secara global, sub-band 900 MHz masih belum banyak digunakan untuk implementasi 4G LTE. Eropa memiliki perencanaan frekuensi (band plan) untuk seluler 900 MHz (GSM dan E GSM) dari pita frekuensi 880−915 MHz berpasangan dengan 925−960 MHz.

Sejalan dengan roadmap penataan frekuensi untuk mampu memberikan layanan broadband, saat ini telah dilakukan neutral technology pada band 900 MHz. Sehingga, yang dapat dilakukan pada band 900 MHz dan extended GSM (contiguous) adalah dengan melakuan penataan spektrum frekuensi agar contiguous.

cari muka
LihatTutupKomentar